Namaku Zaidan, seorang mahasiswa yang tengah mengejar mimpi di UIN Raden Mas Said Surakarta. Jejak langkahku terpatri di Program Studi Akuntansi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, tempat di mana ilmu dan harapan saling bertemu dalam setiap lembar perjalanan hidupku.
Kali ini, izinkan aku berbagi sedikit cerita. Bukan berniat sebagai pengajar yang menggurui, melainkan sebagai temanseperjalanan yang ingin berbagi sepotong kisah, tentang langkah-langkah kecil yang sudah ku tapaki, tentang harapan yang kadang redup, dan tentang keberanian untuk terus melangkah meski dunia terasa berat.
Semester lima. Masa di mana mipi-mimpi yang dulu terlukis indah mulai bersinggungan dengan kenyataan yang keras. Bukan lagi sekedar kelas pagi yang membosankan ataupun tugas yang menumpuk. Ini adalah titik balik, persimpangan antara tetap bertahan atau menyerah.
Gedung fakultas yang megah berdiri dengan gagah, menyambut
setiap langkah kecilku dengan gugup dan penuh semangat baru. Kala itu, kelas di
hari Jumat dimulai seperti biasanya. Tumpukan buku di tangan kiriku, mimpi
menggantung di bahuku, dan sebotol kopi yang menjadi teman setia ditangan
kananku.
“Selamat pagi anak-anak, ” ucap seorang dosen dengan senyum
manisnya. Pagi itu, ruang kelas terasa sunyi. Dosen sedang menjelaskan materi
kewirausahaan, sementara aku berjuang melawan rasa kantuk yang tak tertahankan.
Teman-temanku yang dulu ceria dan penuh semangat, kini tampak lelah dengan
cekungan hitam dibawah mata mereka.
Tak berapa lama kemudian, terdengar di telingaku “praktik
kewirausahaan berjualan di CFD secara berkelompok ya,” suara dosen yang
menggema membuyarkan lamunanku. Seisi kelas menjadi riuh kala itu. Aku terkejut
dan terdiam. Jantungku berdetak lebih cepat. Berjualan di CFD? Aku menatap
papan tulis dengan pandangan kosong, mencoba mencerna kalimat itu. Membayangkan
diriku dipinggir jalan, di tengah keramaian, dan melayani pelanggan yang tak ku
kenal.
Bisikan-bisikan kecil penuh semangat mulai menggema di antara
teman-temanku, sementara sebagian lainnya terdiam dan tampak terkejut seperti
yang ku rasakan. Aku meneguk kopi di tangan kananku, berharap mampu meredakan
kekeringan di tenggorokanku. Di tengah perkuliahan, gelisah dan cemas menyusup
tanpa permisi, membawa satu pertanyaan yang tak terhindarkan: Apakah aku
benar-benar siap menghadapi dunia nyata.. atau justru akan tersesat di tengah
keramaian yang asing dan tak terduga itu?
Sore hari selesai perkuliahan di hari Jumat, aku dan teman
kelasku langsung bergerak mendekat untuk membentuk kelompok. Dan akhirnya aku
pun sudah tergabung dalam kelompok yang beranggotakan Taufik, Ainun, dan Nurul.
Seminggu berlalu. Tepat di hari Selasa yang terik, udara yang terasa pengap. Selesai perkuliahan, tanpa banyak bicara, kami berempat langsung menuju hamparan rumput hijau buatan yang terbentang di lantai tiga gedung FEBI. Angin yang berhembus perlahan berusaha meredakan pengap dan panas. Diskusi siang ini, kami membahas tugas kewirasausahaan di hari Jumat minggu lalu. Suasana di sekitar kami begitu riuh. Canda tawa dan suara obrolan yang terdengar dari mahasiswa dan mahasiswi berlalu-lalang dengan langkah terburu-buru, ada yang baru selesai kuliah, ada pula yang sibuk mencari ruang kelas berikutnya.
“Dengar-dengar jualan di CFD lumayan menguntungkan lho..,” ucap Nurul tiba-tiba memecah kesunyian di antara kami bertiga yang tengah termenung memikirkan tugas praktik kewirausahaan.
Aku yang duduk disebelah Taufik, ikut menimpali. “Gimana
kalau kita jual makanan ringan? Kayak sosis goreng yang biasa dijual di depan
kampus. Laris kan?” Wajahku dengan penuh keyakinan yang entah datang dari mana.
Taufik, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Ayo,
kita bikin ini pasti berhasil,” katanya tegas dengan nada optimis.
Ide yang ku buat terasa menggiurkan meski ada rasa ragu yang
menyelinap. Aku bukan orang yang pandai berjualan. Tapi saat pilihan terbatas,
keberanian itu muncul seketika di pikiranku. Dan pada akhirnya kami pun
memutuskan untuk berjualan sosis goreng. Dalam kebersamaan yang baru terbentuk
itu, ada harapan bahwa perjalanan yang menanti, seberat apa pun, akan terasa
lebih ringan jika dilalui bersama.
Minggu pertama di CFD, kami berjualan penuh harap. Awalnya
semuanya tampak menjanjikan. Aroma sosis goreng yang menggoda menyatu dengan
hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu lalang di depan lapak kecil kami. Uang
kertas pertama berpindah tangan, dan untuk sesaat, kami merasa yakin bahwa keputusan
ini tidak salah.
Namun, kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Penjualan
melambat di tengah hari, sementara biaya sewa lapak dan bahan baku terus
menghantui pikiranku. Jam terus berdetak, tapi uang di kotak kas tetap tak
bertambah banyak. Matahari mulai meninggi, membuat peluh bercucuran di wajah
kami. Namun harapan itu perlahan memudar, terkikis oleh kenyataan yang tak bisa
dihindarkan.
Aku memnadangi deretan sosis yang masih tersisa di atas
penggorengan, dingin, dan tak tersentuh. Pembeli terakhir sudah lama berlalu,
meninggalkan lapak kami yang sunyi ditengah keramaian. Dengan menghela napas
panjang,
“Sudahlah… kita tutup saja,” ucapku, suara itu tidak
terdengar jelas karena bising kendaraan yang mulai memenuhi jalan.
Tanpa berkata-kata, aku dan ketiga teman kelompokku dengan
berat hati mulai merapik peralatan. Saat kami menghitung uang dengan wajah
lelah dan kusut, angka yang tertera membuat hati terasa kosong. Kerugian
pertama terasa seperti tamparan keras yang menyadarkan kami betapa sulitnya
terjun langsung di dunia nyata. Dibalik rasa lelah dan kecewa, dan ada tekad
yang perlahan mulai tumbuh. Aku tahu ini bukan sebuah akhir, ini hanyalah satu
babak yang harus ku lalui sebelum memulai cerita yang baru.
Dari kejadian ini, aku menyadari bahwa hidup tak pernah menjanjikan jalan yang mulus. Di antara cita dan realita, setiap kerugian menyimpan pelajaran, dan setiap kekecewaan adalah pengingat bahwa mimpi yang besar memerlukan keberanian yang lebih besar pula. Sebab, mereka yang benar-benar berhasil bukanlah yang tak pernah jatuh, melainkan yang tak pernah berhenti bangkit.
Teruntuk diriku dan teman seperjalananku:
"Jadikan setiap kegagalan menjadi pijakan menuju impian, bukan sekadar batu sandungan yang mebhambat langkah. Teruslah melangkah, meski sesekali harus terjatuh dan mencicipi pahitnya kenyataan. Sebab, mimpi yang diperjuangkan dengan segenap hati akan selalu menemukan jalannya untuk menjadi nyata."
Karena setiap perjalanan adalah kisah yang layak dikenang, dan setiap mimpi adalah tujuan yang pantas diperjuangkan. Semoga sepenggal kisah ini menjadi lentera kecil yang menghangatkan hati dan menginspirasi jiwa-jiwa yang tengah berjuang di persimpangan antara harapan dan kenyataan...
Nama : Zaidan Muhammad Salma Uliansyah
NIM : 225221057
Kelas : AKS 5B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar