By: Nada Wildan Nurul Amin
Sebagai mahasiswa jurusan akuntansi syariah di semester lima
UIN Raden Mas Said Surakarta, kehidupan Nada terasa penuh tantangan. Namun,
jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa kisah perjalanannya dalam dunia
kewirausahaan dimulai jauh sebelum ia mengenal angka dan tabel keuangan.
Segalanya bermula saat Nada duduk di kelas tiga SMP. Ia
mengingat jelas hari-hari itu, saat ayah dan ibunya mengajaknya ke pasar untuk
membantu berjualan sembako. Awalnya, Nada merasa bosan dan enggan. “Apa
menariknya berjualan di kios kecil di tengah hiruk-pikuk pasar?” pikirnya kala
itu. Namun, perlahan, sesuatu mulai berubah. Suasana pasar yang hidup, penuh
dengan canda para pedagang, mengusir rasa bosannya. Keramahtamahan mereka, tawa
yang menggema di antara deretan kios, membuat Nada merasa seperti bagian dari
komunitas yang unik.
Suatu hari, ibunya memutuskan untuk memulai usaha baru menjual
makanan kecil seperti risol dan tahu bakso. Bersama-sama, mereka bangun pukul
tiga pagi untuk mempersiapkan dagangan. Aroma adonan dan bahan segar memenuhi
dapur kecil mereka. Nada, meski lelah, merasa ada sesuatu yang hangat di hati
setiap kali ia membantu. Ketika libur sekolah tiba, ia ikut berjualan di pasar.
Hasilnya lumayan, cukup untuk sekadar membeli jajan atau nongkrong bersama
teman-teman.
Namun, kehidupan terus berjalan, dan Nada mulai menyadari
bahwa hanya berjualan sembako tidaklah cukup. Suatu sore, ia berbicara dengan
ibunya. “Bu, kenapa kita nggak coba catering makanan saja? Masakan ibu enak,
pasti laris!” kata Nada dengan semangat. Awalnya, ibunya ragu. Waktu itu
pandemi COVID-19 baru saja mulai merebak, dan segalanya terasa tidak pasti.
Tetapi, setelah banyak pertimbangan, mereka memutuskan untuk mencoba.
Keputusan itu menjadi titik balik keluarga mereka. Dalam
beberapa bulan, usaha catering tersebut mulai menghasilkan keuntungan yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka bekerja bersama ayah, ibu,
kakak, dan adik Nada menjadikan usaha itu sebagai wujud nyata kerja keras dan
kebersamaan.
Ketika Nada memasuki dunia perkuliahan, matakuliah
kewirausahaan membuka matanya lebih lebar. Dosen mereka, Bu Sri Haryati, sering
berkata, “Anak muda sekarang harus punya usaha sendiri. Kalau bisa, jangan
hanya jadi karyawan.” Kata-kata itu langsung mengingatkannya pada masa kecilnya
di pasar. Itu pula yang mendorong Nada untuk mengambil tugas praktek bisnis
plan dengan penuh semangat.
Ia membentuk kelompok bersama Mas Dzikri dan Mbak Ayu. Ide
mereka sederhana: risol mayo Zaud. Dengan resep rahasia ibunya, mereka membuat
risol sendiri, menggorengnya di malam hari sebelum CFD (Car Free Day) di Slamet
Riyadi. Pagi itu, mereka tiba di lokasi dengan penuh antusiasme. Dengan meja
kecil dan produk di tangan, mereka mulai menawarkan dagangan sambil berjalan di
tengah kerumunan.
Nada terkejut melihat respon yang mereka dapatkan. Strategi
promosi mereka banting harga menjadi 10 ribu untuk empat risol membuahkan
hasil. Dari 50 risol yang mereka bawa, 45 laku terjual. Dengan senyum puas,
mereka membagi hasilnya bertiga. Meski sederhana, pengalaman itu membuat Nada
sadar: ada sesuatu yang istimewa dalam berwirausaha. “Kita bisa menghasilkan
uang dari kerja keras kita sendiri,” pikirnya.
Namun, Nada juga tahu bahwa berwirausaha tidak selalu mudah.
Ketika penjualan sepi, mereka harus memutar otak, mencari cara agar usaha
mereka tetap menarik. Dari CFD hingga pasar, dari risol hingga catering, Nada
belajar bahwa dunia wirausaha adalah tentang keberanian, kreativitas, dan
pantang menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar